Mengenal Prinsip Subrogasi
Saat kendaraan kita ditabrak oleh pengendara
lain sehingga mengalami kerusakan, biasanya secara langsung kita akan meminta
ganti rugi sejumlah uang kepada si penabrak untuk mengganti biaya perbaikan. Berhubung
kendaraan kita masih dalam pertanggungan asuransi, biasanya kita juga akan
mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi. Dalam asuransi, praktek seperti
ini sebenarnya tidak dibenarkan karena ada prinsip subrogation.
Penerapan
prinsip subrograsi di asuransi biasanya dengan cara perusahaan asuransi secara
langsung membayar klaim kepada tertanggung atas kerugian yang dialaminya.
Selanjutnya, perusahaan asuransi akan menuntut ganti rugi kepada pihak ketiga
yang atas kelalaiannya telah menyebabkan kerugian terjadi senilai klaim yang
telah dibayarkan kepada tertanggung. Hak subrogasi ini biasanya akan tercantum
dalam polis asuransi. Namun demikian, dalam implementasinya sangat bergantung
pada pertimbangan dari perusahaan asuransi, apakah akan menggunakannya atau
tidak.
Prinsip
subrograsi ini seringkali dianggap sebagai pengaman atau pendamping dari
prinsip indemnity (corollary of indemnity). Prinsip indemnity
sendiri adalah memberikan ganti rugi kepada tertanggung dalam rangka
mengembalikan posisi keuangan yang sama setelah terjadinya kerugian seperti
kondisi sebelum kerugian terjadi. Bila tidak ada prinsip subrograsi, maka
tertanggung akan berpotensi mendapatkan nilai penggantian yang lebih besar atau
ganda dari yang seharusnya sehingga tidak sesuai dengan prinsip indemnity.
Dalam
hukum di Indonesia, prinsip subrogasi diatur dalam Pasal 284 KUHD yang
berbunyi: “Seorang penanggung yang telah membayar kerugian suatu barang yang
diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya
terhadap orang-orang ketiga berhubungan dengan penerbitan kerugian tersebut,
dan tertanggung itu adalah bertanggungjawab untuk setiap perbuatan yang dapat
memberikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga.”
Maksud
dari pasal tersebut adalah bila kerugian tertanggung disebabkan
oleh pihak ketiga maka penggantian kerugiannya dialihkan kepada pihak ketiga
dan bukan kepada pihak asuransi. Namun, bila pihak tertanggung tetap meminta
ganti kerugian kepada pihak asuransi maka pihak asuransi berhak untuk meminta
ganti rugi kepada pihak ketiga karena pihak asuransi berhak untuk menggantikan
kedudukan tertanggung.
Definisi subrogation sendiri sebenarnya diambil dari kasus
"Burnand v. Rodocancachi (1882)" di Inggris. Dalam kasus tersebut,
penanggung, setelah memberikan indemnity kepada tertanggung, berhak
untuk menerima kembali dari tertanggung apa saja yang dapat diterimanya dari
sumber lain. Berdasarkan definisi tersebut, hak subrogasi hanya bisa diterapkan
untuk kontrak-kontrak asuransi yang terkait dengan kontrak indemnity. Oleh
karena itu, prinsip subrogasi tidak bisa diterapkan atau tidak berlaku dalam
polis asuransi jiwa atau polis asuransi kecelakaan diri.
Mengapa subrograsi dianggap sebagai pendamping dari prinsip indemnity
(corollary of indemnity)? Agar lebih mudah memahaminya, kita akan
ilustrasikan dengan sebuah contoh kejadian sebagai berikut: Andi mengasuransikan
mobilnya kepada perusahaan asuransi A untuk periode pertanggungan 12 bulan
dengan risiko sendiri (jumlah tertentu harus ditanggung sendiri oleh Andi,
selaku tertanggung dalam setiap kerugian dan setiap kejadian) sebesar Rp500.000.
Dalam periode polis, mobil Andi ditabrak oleh mobil Iwan. Padahal,
posisi mobil Andi diparkir di tempat yang benar. Akibat kejadian tersebut,
mobil Andi mengalami kerusakan dan menimbulkan kerugian senilai Rp3.000.000.
Alhasil, Andi pun mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Iwan dan juga secara
paralel mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi A. Karena kerugian yang dialami dijamin oleh polis
asuransi, maka perusahaan asuransi A membayar klaim Andi sebesar
Rp3.000.000-Rp500.000 = Rp2.500.000.
Setelah perusahaan asuransi A membayarkan klaim berdasarkan prinsip indemnity
kepada Andi sebesar Rp2.500.000, ternyata selang beberapa hari kemudian Andi
menerima pembayaran ganti rugi dari Iwan sebesar Rp3.000.000 karena telah
menabrak mobil Andi hingga rusak. Bila mengacu pada prinsip subrograsi, maka
atas sejumlah pembayaran dari Iwan tersebut Andi harus membayarkan senilai
Rp2.500.000 kepada perusahaan asuransi A yang sebelumnya telah membayar klaim
kepada Andi senilai Rp2.500.000.
Kapan Hak
Subrogasi Ini Timbul?
Hak subrogasi (subrogation rights) bagi penanggung dapat timbul dari beberapa faktor, yaitu:
- Hak-hak tertanggung yang timbul dari suatu perbuatan melanggar atau melawan hukum (dalam hukum Inggris disebut "tort") seperti kelalaian (negligence) yang dilakukan oleh orang lain terhadapnya.
- Hak-hak tertanggung yang timbul dari suatu kontrak atau perjanjian yang telah diadakannya dengan orang lain.
- Hak-hak tertanggung berdasarkan Undang-Undang.
Selain itu, hak subrogasi penanggung juga dapat timbul dari obyek
pertanggungan itu sendiri atau bagian dari obyek pertanggungan (hak dan
salvage atau sisa barang) yang mana penanggung telah membayar indemnity
berdasarkan syarat-syarat polis. Hak subrogasi seperti ini sebenarnya di luar subrogation
atau definisi subrogasi seperti yang dijelaskan sebelumnya, tetapi lebih pada
aplikasi prinsip indemnity yang tidak membenarkan tertanggung menikmati
pembayaran indemnity yang lebih besar dari indemnity penuh (full
indemnity).
Adapun mengutip keterangan common law di Inggris dan juga Pasal
284 KUH Dagang di Indonesia, hak subrogasi penanggung belum timbul selama
penanggung belum membayarkan klaim yang bersangkutan kepada tertanggung. Ketentuan
atau aturan ini dapat menimbulkan masalah bagi pihak penanggung karena setelah
kerugian yang menimbulkan klaim itu terjadi, penanggung tidak dapat
berpartisipasi aktif atau berjuang atas nama si tertanggung dalam upaya menuntut
hak tertanggung kepada pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya kerugian.
Tentu kondisi ini dapat berakibat buruk terhadap hak subrograsi penanggung.
Untuk menjamin hak subrogasi penanggung berjalan dengan baik, biasanya
penanggung dalam banyak polis mencantumkan ketentuan atau klausula subrogation
yang memungkinkan penanggung untuk meminta pihak tertanggung, atas biaya
penanggung, melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu, sebelum atau sesudah
penanggung melaksanakan pembayaran indemnity terhadap tertanggung, dalam
upaya memperoleh ganti rugi dari pihak-pihak lain.
Modifikasi
Subrogasi
Sama seperti prinsip indemnity, prinsip subrograsi tidak
bersifat mutlak sehingga dalam hal-hal atau situasi-situasi tertentu dimungkinkan
untuk disesuaikan. Dalam kaitan ini, para penanggung atau perusahaan asuransi
bisa melakukan modifikasi terhadap cara kerja subrogasi. Berikut ini adalah
beberapa contoh dari modifikasi yang dimaksud:
1.
Knock for knock Agreement. Perjanjian ini adalah suatu intercompany agreement
(perjanjian antarperusahaaan asuransi) yang mengatur bahwa antara perusahaan asuransi yang
mentransaksikan
bisnis asuransi kendaraan bermotor, tidak akan melaksanakan hak-hak subrogasi terhadap
satu sama lainnya dalam hal terjadinya kerusakan kendaraan milik tertanggung
mereka yang disebabkan oleh suatu peristiwa
tabrakan antara kendaraan-kendaraan
para tertanggung mereka.
2.
Perjanjian-perjanjian lainnya.
Perjanjian
antara penanggung kendaraan bermotor dan penanggung properti yang menjamin kerugian/kerusakan
harta benda yang dipertanggungkan pada polis properti karena ditabrak kendaraan
bermotor. Dalam
perjanjian ini, para
pihak setuju untuk kontribusi secara bersama-sama dalam kerugian properti yang bersangkutan berdasarkan
proporsi-proporsi yang telah disepakati.
3.
Waiver of subrogation
dalam polis.
Polis-polis
tertentu, seperti polis employers liability,
mencantumkan suatu kalusula waiver of subrogation yang berisi pernyataan
bahwa penanggung melepaskan hak subrogasinya dalam hal seorang karyawan
menyebabkan seorang karyawan lainnya cedera badan.